Agama Islam ini diturunkan oleh Allah bukanlah untuk membuat diri kita  menjadi sengsara, tidak bahagia, dan  terbebani, akan tetapi Allah  menginginkan bahwa hidup kita menjadi mudah, tentram dan damai; bukankah  Islam itu sendiri berarti damai, selamat. Akan tetapi karena kebanyakan  dari kita belum mengerti, maka akhirnya banyak yang menganggap agama  ini menjadi beban saja, hingga terkadang banyak orang meninggalkannya. 
Allah sendiri telah menegaskan, bahwa “Allah menghendaki keringanan  bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [2 :185]. Karenanya Allah  sama sekali tidak menuntut hal yang diluar batas kemampuan kita, “Allah  tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia  mendapat pahala [dari kebajikan] yang diusahakannya dan ia mendapat  siksa [dari kejahatan] yang dikerjakannya.” [2:286]. 
Demikian pula dalam amal, Allah lebih menyukai amal yang dilakukan  dengan sewajarnya dan tidak berlebihan. Persoalan sewajarnya ini  sebenarnya sangat tergantung dari kemampuan seseorang, karena yang  dimaksudkan dengan sewajarnya barangkali ada yang menganggap membaca  AlQur’an satu juz sehari, atau barangkali dua lembar saja sehari dsb,  yang penting kita merasa menikmati dalam proses amal ibadah itu. Yang  tidak wajar jika ia tidak membaca Al Qur’an sama sekali. 
Yang diinginkan Allah adalah bahwa amalan yang kita lakukan itu akan  terus berlanjut, kontinyu, terus menerus; tidak hari ini kita mengaji  satu juz, lalu selanjutnya seminggu tidak mengaji lagi. 
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra, “ Ketika  Nabi masuk ke rumah kami bertepatan ada seorang wanita. Nabi bertanya,  Siapakah wanita itu ? Jawab Aisyah, ini adalah akhwat yang ibadah  shalatnya terkenal banyak sekali. Maka kata Nabi, Hendaknya kerjakan  sekuat-kuatnya saja, dengan tidak memaksa diri; maka Allah tidak akan  jemu menerima amalmu, hingga kamu jemu beramal. Dan kebiasaan agama yang  lebih disukai Allah, ialah yang dapat dilakukan dengan terus menerus”
Demikianlah Agama ini menghendaki bahwa amal yang kita lakukan itu  hendaknya melekat dalam diri kita hingga akhirnya menjadi sebuah  kebiasaan. Dan amal yang baik adalah amal yang  menjadi kebiasaan, yang  dikerjakan terus-menerus, yang jika ketinggalam maka ia akan merasakan  “ada sesuatu yang hilang” dari dirinya. 
Akan tetapi kebanyakan orang tidak demikian, jika dalam keadaan  “mood” ia ingin sekali rasanya melumat segalanya, akan tetapi sikap  manusia yang kurang baik adalah bahwa ia tidak dapat menjaganya, dan  menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan yang seseorang akan merasakan  “enjoy” ketika melakukannya.
Suatu saat datanglah serombongan orang ke rumah istri nabi dan  bertanya tentang ibadah nabi. Setelah diceritakan kepadanya, maka  seseorang mengatakan, saya akan shalat terus sepanjang malam; yang kedua  mengatakan, saya akan menjauh dari istri dan tidak akan kawin; dan yang  ketiga mengatakan pula, saya akan puasa tiap hari. Ketika nabi datang  maka Nabi meluruskan persepsi orang itu dalam beribadah. Nabi berkata,”  Engkau tadi telah berbicara banyak hal. Akan tetapi sebenarnya aku lebih  takut kepada Allah daripada kamu, bahkan aku lebih bertaqwa, namun aku  berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, serta menikah dengan beberapa  wanita. Maka siapa yang mengabaikan sunnahku, maka bukan bagian dari  umatku.” 
Begitulah, nampaknya nabi ingin sekali membenarkan pandangan salah  para sahabatnya, yang menilai berlebihan ibadah akan lebih baik baginya.  Namun Nabi memberitahukan kepada mereka, bahwa melakukan ibadah itu  harus sewajarnya.
Dalam kesempatan lain, ketika Nabi masuk masjid,  maka beliau melihat  tali yang terikat pada sebuah tiang, dan ketika orang-orang  memberitahukan bahwa itu adalah tali Zainab yang digunakan untuk  berpegangan ketika capai berdiri dalam shalat, maka Nabi mengatakan,”  Lepaskan tali itu, hendaknya shalat dalam keadaan tangkas dan cekatan,  apabila telah letih maka hendaknya tidur”.
Ketika Amr bin Ash diketahui nabi selalu mengkhatamkan Al Qur’an  hingga tiap malam maka beliau mengatakan padanya,  khatamkan dalam  sebulan. Saya lebih kuat dari itu ya Nabi. Khatamkan dalam sepuluh hari.  Saya lebih kuat dari itu ya Nabi. Khatamkan dalam tujuh hari, dan  jangan lebih cepat dari itu.
Barangkali kita memang harus menata amalan kita secara tawazun,  dengan tidak meringan-ringankannya, serta tidak memperberatnya, semuanya  tentu harus dalam batas ukuran kemampuan kita. Yang penting kita  beristiqamah, membiasakan diri, hingga amalan-amalan itu, meski mungkin  belum banyak, dapat menyatu dalam diri kita, inheren dalam perilaku kita  hingga membangun aklaq terpuji. Cara beramal seperti inilah yang  menjadikan seorang muslim akan menikmati setiap ibadah yang  dikerjakannya, dapat menimbulkan kepribadian yang luar biasa dalam  dirinya.
Inilah cara pendidikan yang barangkali harus kita fikirkan, kepada  saudara kita, mad’u kita, istri kita, suami kita, anak kita. Dengan  membiasakan sedikit demi sedikit dan mencobanya agar ia mampu menikmati  serta beristiqamah dengan amalnya sebatas kemampuannya.  Kita memang  akan terus berusaha meningkatkan kemampuan dalam beramal itu, dan  menjadikannya sebagai kebiasaan, akan tetapi tentu semuanya memerlukan  proses, yang berpijak pada kebiasaan sebelumnya.
Dengan demikian semoga saja ibadah-ibadah yang kita lakukan akan  semakin bermakna, dan semakin berdampak dalam kehidupan kita. 
Wallahu a’lam
(http://achedy.penamedia.com/2001/10/25/cara-beramal-yang-disukai-allah/)
(http://achedy.penamedia.com/2001/10/25/cara-beramal-yang-disukai-allah/)





0 komentar:
Posting Komentar